Klenteng Sam Po Kong adalah sebuah bangunan
yang merupakan bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang
Laksamana Tiongkok beragama Islam yang bernama Zheng He atau Cheng Ho. Bangunan
yang juga berfungsi sebagai tempat beribadah Umat Kong hu Cu ini terletak di
daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang.
=============================================
Setelah beberapa kali
mengunjungi Kota Semarang, akhirnya Sabtu, 09 Juni 2017 saya kesampaian untuk berkunjung ke Klenteng
yang terkenal di Semarang, yakni Klenteng Sam Po Kong. Cuaca Semarang yang begitu terik tak
menyurutkan semangat saya untuk berkunjung ke tempat ini. Tiket Masuk yang
sangat terjangkau, yakni Rp. 10.000,- untuk dewasa dan Rp.
5.000,- untuk anak-anak. Oyah,..kemarin kami membeli tiket "terusan" yang bertarif Rp. 28.000,- per orang, saya dan teman-temanpun tak menyia nyiakan kesempatan
untuk mengunjungi setiap sudut bangunan klenteng yang bernilai sejarah ini.
Di setiap Klenteng ada dua orang “penjaga”,
laki-laki dan perempuan; namun yang saya maksud penjaga ini bukan security,
sebab yang bertugas sebagai tenaga pengamanan di setiap Klentengnya ada
sendiri. Penjaga yang saya maksud adalah mereka yang memfasilitasi pengunjung
yang hendak sembahyang, memberikan beberapa keterangan tentang klenteng, dan
tentu saja menginfokan beberapa spot yang tidak boleh difoto (mohon maaf kalau
kata “penjaga” dirasa kurang tepat).
Asal muasal Kelenteng
Sam Poo Kong terkait erat dengan muhibah atau perjalanan Laksamana Cheng Ho,
seorang laksamana besar Cina yang terkenal dalam sejarah telah mengarungi
samudra melintasi beragam negeri. Tempat ini juga biasa disebut Gedung Batu,
karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah
bukit batu. Oleh karenanya bangunan ini juga disebut Kelenteng Gedung Batu Sam
Po Kong. Bangunan yang bentuknya memiliki arsitektur bangunan China ini menjadi
tempat peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk
berziarah bagi Umat Kong Hu Cu.
Bangunan inti dari
kelenteng adalah sebuah Goa Batu yang dipercaya sebagai tempat awal mendarat
dan markas Laksamana Cheng Ho beserta anak buahnya ketika mengunjungi Pulau
Jawa di tahun 1400-an. Goa Aslinya sendiri tertutup longsor pada tahun 1700-an,
kemudian dibangun kembali oleh penduduk setempat sebagai penghormatan kepada
Cheng Ho. Di area ini juga juga terdapat dinding yang dihiasi relief yang
menceritakan tentang perjalanan Laksamana Cheng Ho dari daratan China hingga
akhirnya sampai di pulau Jawa.
Menurut sejarah,
Laksamana Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan
Kaisar Yongle dari Tiongkok (kaisar ketiga dari dinasti Ming, berkuasa tahun
1403-1424). Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao (馬 三保)/Sam
Po Bo. Dia lahir di daratan Yunnan dan masih keturunan dari Persia. Ia hidup
dan besar ketika China dilanda peperangan saudara, dan Cheng Ho merupakan orang
kepercayaan Yongle yang akhirnya menjadi kaisar dinasti Ming.
Karir Cheng Ho melesat dan Sang kaisar mempercayakan Cheng Ho menjadi duta
internasional seiring dengan lahirnya dinasti yang baru. Ia melakukan ekspedisi
sebanyak tujuh kali dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi
tempat singgah Cheng Ho. Ia menjelajahi Samudra Hindia dan rute yang dia tempuh
dari China menuju berbagai negara Asia Tenggara, India, Timur Tengah, Jazirah
Arab hingga Afrika. Ia membawa pesan perdamaian dengan setiap kerajaan yang
dikunjungi dan ia memulai perdagangan yang adil dan membagikan ilmu
pengetahuan.
Ketika sedang berlayar
melewati laut jawa, banyak awak kapalnya yang jatuh sakit. Melihat hal itu
kemudian Ia memerintahkan para awak kapalnya untuk membuang sauh dan merapat ke
pantai utara semarang. Setelah mendarat, Ia dan para awaknya berlindung di
sebuah Goa dan mendirikan bangunan sebagai markas dan tempat tinggal sementara
di tepi pantai yang sekarang telah berdiri menjadi kelenteng. Seiring
bergantinya zaman, bangunan itu kini telah bergeser menjadi berada di tengah
kota Semarang. Hal ini diakibatkan pantai utara jawa yang selalu mengalami
proses pendangkalan yang di akibatkan adanya proses sedimentasi, sehingga lambat-laun
daratan akan semakin bertambah luas kearah utara.
Di tempat ini, Cheng Ho
juga sempat memberikan pelajaran bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran
Islam kepada masyarakat di sekitarnya. Konon, setelah Cheng Ho meninggalkan
tempat tersebut karena harus melanjutkan pelayarannya, banyak awak kapalnya
yang memutuskan tinggal di desa Simongan dan menikah dengan penduduk setempat.
Mereka bersawah dan berladang ditempat itu.
Meskipun sebenarnya
laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim, tetapi bagi etnis China Umat Kong Hu
Cu, Beliau juga dianggap dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu
Cu atau Tao menganggap orang yang sudah meninggal, terlebih orang tersebut
merupakan tokoh yang berpengaruh, dapat memberikan pertolongan kepada mereka
yang masih hidup.
Seperti halnya
bangunan-bangunan yang kental dengan unsur China, warna merah banyak
mendominasi bangunan ini. Sejumlah lampion merah tidak saja menghiasi
kelentengnya, tetapi juga pohon-pohon menuju pintu masuk. Di halaman yang cukup
luas di depan kelenteng, terdapat sejumlah patung, baik yang berukuran besar
maupun kecil. Patung Laksamana Cheng Ho juga berdiri gagah di depan bangunan
kelenteng yang berwarna merah menyala. Arsitektur di kelenteng Sam Po Kong ini
dipenuhi dengan ornamen naga. Selain itu bangunan kelenteng ini beratap susun
melambangkan kelopak bunga teratai. Ukiran-ukiran seperti naga dan kapal dari
Cheng Ho juga menambah kemegahan kelenteng ini.
Meskipun sebagai tempat
destinasi wisata, area kelenteng yang berupa kuil lebih dimaksudkan untuk
sembahyang, sehingga tidak semua orang boleh memasukinya. Bangunan kuil, baik
yang besar maupun yang kecil dipagari dan pintu masuknya dijaga oleh petugas
keamanan. Hanya yang bermaksud sembahyang saja yang diizinkan masuk sedangkan
wisatawan yang ingin melihat lihat hanya bisa melakukan dari balik pagar.
Di areal wisata
klenteng Sam Po Kong ini juga terdapat beberapa lokasi menarik yang menunjukan
sisa-sisa peninggalan di masa lalu. Diantaranya adalah tempat Kyai Juru Mudi
yang berupa makam juru mudi kapal yang ditumpangi Laksamana Cheng Ho. Selain
itu ada pula tempat lainnya yang dinamai kyai Jangkar, karena di sini tersimpan
jangkar asli kapal Cheng Ho yang dihias dengan kain warna merah. Kemudian ada
juga Kyai Cundrik Bumi, yang dulunya merupakan tempat penyimpanan segala jenis
persenjataan yang digunakan awak kapal Cheng Ho, serta Kyai dan Nyai Tumpeng
yang merupakan tempat penyimpanan bahan makanan pada zaman Cheng Ho.
Sebenarnya ada cerita unik saya dan teman-teman ketika berkunjung kesini, apa itu?,..kami menyempatkan diri untuk minta diramal ke penjaga salah satu Klenteng (dua orang, bapak dan ibu),..setelah bertemu dan ngobrol sebentar, si ibu mempersilahkan kami terlebih dahulu untuk membeli dupa di bagian depan Klenteng (dekat dengan penyewaan kostum), kemudian secara bergantian kamipun ngobrol alias curhat ke bapak yang akan meramal,..ini buat senang-senang saja tanpa ada maksud lain, alias penasaran saja,..heheheh.....saya dan teman pun cukup shock dengan hasil ramalan si bapak, yang menurut kami sih sangat mendekat dengan realita yang kami hadapi, baik itu soal pekerjaan maupun jodoh..hahahha............penasaran kan?,...makanya teman-teman jika berkunjung kesini sempatkan yah untuk diramal.....(end)